Nicho adalah anak yang sangat aktif. Sebagaimana anak kecil pada umumnya, di saat-saat tertentu, Nicho pun suka ngambek. Mainannya bisa ia banting, segala bujuk rayu ibunya tak mempan untuk menenangkan bocah ini. Mengapa anak sekecil ini bisa berlaku kasar seperti itu? Sudah pasti orang tuanya tidak pernah mengajarkan demikian. Apa yang dialami Nicho adalah reaksi memuncak yang berbentuk ledakan emosi tak terkontrol. Bentuk kemarahan atau frustasi ini dikenal dengan nama temper tantrum (lebih sering disebut tantrum)
Bentuk tantrum bisa bermacam-macam, mulai dari menjerit, menangis berguling-guling, merengek, membanting, mogok mengerjakan sesuatu, menendang atau memukul. Ketika “kumat” sebetulnya anak sedang mengalami masalah. Dia tidak memahami kenapa bisa begini, atau begitu. Karena si anak tidak memahami apa keinginannya itulah, maka timbullah impulsive behavior dalam bentuk tantrum ini.
REAKSI ILMIAH
Menurut Jacinta F. Rini, Msi, project consultant dari Harmawan Consulting, setiap anak usia 1-3 tahun sering kali melampiaskan perasaan dalam bentuk tantrum. Ini sangat ilmiah, karena mereka belum tahu cara mengekspresikan emosi dengan benar. Pada usia-usia tersebut anak sudah memiliki will power, keinginan melakukan hal-hal tertentu sendiri. Ledakan emosi ini kerap menumbuhkan power struggle antara anak & orang tua.
Terlebih ketika anak mulai membangun sense of self (rasa keakuan) yang kuat. Anak mulai berpikir, “Aku ingin melakukannya sendiri” atau “Aku ingin barang itu!” Keinginan yang tak sebanding dengan kemampuan untuk mengungkapkan inilah yang lantas menimbulkan tantrum. Kerap atau tidaknya tantrum muncul, berbeda dengan anak yang 1 dengan yg lainnya. Yang sering membuat orang tua bingung adalah ketika bentuk tantrumnya sudah dianggap “kelewatan” & tak terkendali.
Sebetulnya, ledakan emosi yang tak terkontrol ini juga membuat si anak tersiksa. Biasanya, ketika tantrum sudah mereda, si anak akan merasa kelelehan, & juga merasa kesal karena tujuan yang dia inginkan belum tercapai. Dia juga kesal, karena tidak bisa mengendalikan emosinya.
AKIBAT FRUSTASI
Tantrum seringkali merupakan hasil dari rasa frustasi si anak terhadap hal di sekitarnya, karena ia tidak dapat mendapatkan apa yang dia inginkan. Padahal, rasa frustasi adalah bagian yang tak bisa dihindari, karena merupakan hal yang dipelajari oleh seorang anak untuk mengetahui bagaimana orang lain, benda, atau tubuhnya sendiri bekerja. Secara garis besar penyebab tantrum adalah karena anak ingin mencari perhatian, lelah, lapar, tidak mampu mengungkapkan diri, tidak terpenuhinya kebutuhan, & merasa tidak aman.
Setelah mereka berusian 3 tahun, Anda bisa mengajari buah hati untuk mengungkapkan secara verbal perasaannya. Anak juga perlu diajari, bahwa rasa marah adalah normal, asal dikendalikan secara tepat. Temper tantrum mulai berkurang saat anak memasuki usia sekolah. Semakin besar anak, orang tua bisa mengingatkannya, mengajari mereka untuk menghitung sampai 10 juga bisa dijadikan salah 1 cara untuk mengontol kemarahan.
Untuk mengataisi masalah ini, orang tua pun harus menanganinya secara tepat. Orang tua yang selalu meluluskan permintaan anak yang dicetuskan dalam tantrum, membuat anak merasa “sukses” melancarkan aksinya. “Akibatnya, tindakan ini akan diulanginya lagi,” papar Jacinta yang menyelesaikan di bidang psikologi klinis di Universitas Indonesia.
Tantrum juga bisa dijadikan alat tes anak terhadap orang tuanya. “Lewat cara learning by experiencing, anak akan tahu, sampai batas mana orang tua bisa tahan terhadap rengekan atau teriakan si anak,” tandas wanita bersuara lembut ini serius.
BIARKAN SENDIRI
Tindakan pertama yang harus segera dilakukan ketika anak sedang tantrum, adalah membiarkannya sendiri, selama itu memungkinkan. Anda juga bisa mencoba mengajarinya mengontrol diri lewat hal-hal kecil dengan pertanyaan-pertnyaan pilihan, hindari penggunaan kata-kata yang membuat anak hanya menjawab dengan “ya” atau “enggak”. Jika anak marah karena menginginkan sesuatu, pertimbangkan keinginan tersebut dengan serius. Mungkin saja karena ia tidak tahu cara yang tepat untuk mengungkapkan keinginannya, sehingga dia marah hanya untuk sebuah keinginan yang sederhana.
HINDARI HUKUMAN FISIK
Tetap tenang adalah hal terpenting menghadapi tantrum. Anak akan menjadikan Anda sebagai contoh, jadilah contoh yang baik dengan cara tenang & tidak berteriak saat Anda sedang marah. Teriakan atau hukuman fisik hanya akan diterima oleh anak sebagai sinyal penggunaan kekuatan. “Cara marah dari orang tua atau orang dewasa di sekitar anak, bisa menjadi role model bagi anak,” tutur Jacinta.
Menghukum anak bukanlah cara yang tepat, karena anak mendapat hukuman atas tindakan yang sebetulnya tidak bisa dia kendalikan. Ketika anak tantrum, orang tua harus bisa mengalihkan perhatian anak.mengalihkan perhatian ini berguna, agar orang tua tidak lelah & terbawa emosi. Jika tantrumnya sudah lewat, barulah orang tua bisa mencari tahu apa penyebabnya. Dekapan hangat & ucapan lembut akan membuat si anak dapat mengontrol dirinya kembali. “ Jadi, bukan orang tua yang menanamkan apa yang harus dilakukan oleh anak, tapi orang tua membantu agar anak menemukan sendiri apa yang membuat dia kesal & menemukan jalan keluarnya.”
CARA MENGATASINYA
1. Beri dukungan &bantuan
Pada saat tantrum anak membutuhkan orang tua yang bisa mendengarkan mereka. Peluk pundak anak, & ucapkan kata-kata penuh pengertian.
2. Mengacuhkan tantrum anak
Selama hal itu tidak berbahaya, abaikan dia. Kalau perlu, pindah ke ruangan lain, sehingga tidak ada lagi yang memperhatikan anak yang sedang tantrum. Katakan saja padanya, “Ibu tahu adik sedang marah, Ibu akan meninggalkan kamu sampai kamu tenang. Bila pada Ibu begitu adik sudah siap untuk bicara.”
3. Antisipasi tantrum
Hindari hal yang tak perlu yang tak disukai anak, & bisa memicu tantrum. Beberapa jenis tantrum bisa dicegah dengan tidak melarang anak melakukan sesuatu secara tiba-tiba, melainkan member peringatan beberapa menit sebelum mereka melakukannya.
4. Beri waktu jeda
Kalau tantrumnya terlalu agresif & tak mungkin diabaikan oleh orang tua, pindahkan anak ke ruangan yang agak sepi selama 2-5 menit. Suruhlan anak untuk diam di kursi, di sudut, atau dikamarnya, sekitar 5 menit. Tekankan kepadanya bahwa dia harus berada di tempat tersebut, sampai bisa mengendalikan dirinya. Bila tantrum terjadi di tempat ramai, angkat lah anak ke tempat yang lebih lenggang, berilah pelukan yang menenangkan. Ketika sudah tenang, barulah anak bisa diberi pengertian mengenai keinginannya tadi.
AJAK DIALOG
Dalam dialog tersebut, buatlah agar anak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. “Bukan orang tua yang menanamkan bahwa si anak harus begini atau begitu, karena anak akan tambah frustasi,” Jacinta mengingatkan. Misalnya bertanyalah seperti, “Kenapa tadi adik marah? Adik kesal ya? Kenapa adik kesal? Dada adik terasa sesak? Adik ingi apa sebetulnya?” akan membuat anak mengerti tentang penyebab rasa marah yang tadi meledak.
Menuru Jacinta, pelajarn pengenalan emosi akan membuat anak bisa mengendalikan dirinya ketika emosi tersebut datang. Selain itu juga bisa mengajak anak untuk memecahkan masalahnya sendiri.
Daftar Pustaka: Brilyantini, 2004, Kumpulan Artikel Psikologi Anak, PT Intisari Mediatama, Jakarta
Jumat, 12 November 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar